Film pertama How to Train Your Dragon
(2010) jelas merupakan kejutan yang menyenangkan dari DreamWorks.
Disaat studio yang satu ini biasanya lebih banyak menelurkan
animasi-animasi konyol yang hanya bisa dinikmati anak-anak, tidak
menyangka bakal mendapat sebuah film yang tidak hanya seru tapi juga
punya cerita bagus dengan perasaan di dalamnya, sesuatu yang selama ini
lebih identik dengan film-film Pixar.
Kemunculan film pertama How to Train Your Dragon (2010) juga hadir di saat yang tepat, karena pada saat itu franchise andalan DreamWorks yakni Shrek mulai mengalami penurunan kualitas meski disaat hampir bersamaan muncul Kung Fu Panda, tapi tentu saja itu tidak cukup. Dengan keberhasilan meraih $494 juta, How to Train Your Dragon
(2010) juga menjadi game changer bagi DreamWorks yang kini jadi punya
media untuk menghadirkan animasi yang lebih dewasa dan gelap setelah
selama ini hanya berfokus pada membuat animasi yang kekanak-kanakan.
Cukup mengejutkan memang pasca kesuksesan luar biasa film pertamanya
butuh waktu empat tahun sampai sekuelnya rilis, tapi toh itu menandakan
bahwa DreamWorks tidak ingin asal-asalan dalam membuat film keduanya.
Jelas merupakan sinyal positif karena hal itu berarti How to Train Your
Dragon 2 bukan sekedar sekuel yang dibuat untuk menambah pundi-pundi
uang tapi juga untuk mengembangkan ceritanya.
Film keduanya ini ber-setting lima tahun setelah akhir film pertamanya How to Train Your Dragon
(2010). Desa Berk kini sudah semakin tentram dimana para Viking dan
naga telah hidup bersama daam harmoni serta kebahagiaan. Hiccup sendiri
kini bukanlah remaja payah yang lemah dan diremehkan. Dia kini sudah
berummur 20 tahun dan bersama Toothless, naga night fury peliharaannya,
Hiccup telah menjadi pengendali naga terbaik di desanya. Bahkan sang
ayah kini sudah berpikir untuk pensiun menjadi kepala suku dan
mempersiapkan Hiccup untuk menggantikannya sesegera mungkin.
Hiccup sendiri merasa tidak siap karena baginya kehidupan sebagai kepala
suku bukanlah hal yang cocok bagi dirinya. Hiccup hanya ingin terbang
bersama Toothles menelusuri tempat-tempat baru yang selama ini belum
sempat dijamah olehnya maupun bangsanya.
Sampai dalam sebuah penelusurannya Hiccup bertemu dengan para pemburu
naga yang mengaku sebagai anak buah dari Drago Bludvist. Drago adalah
seorang pria kejam yang ingin menguasai semua naga dan menjadikan
naga-naga sebagai miliknya sendiri. Bagi Drago, ia adalah satu-satunya
orang yang bisa mengendalikan naga-naga tersebut. Untuk itu Drago
berniat menyerang Berk untuk mendapatkan naga-naga yang ada disana
termasuk Toothless.
Tentu saja Hiccup tidak akan membiarkan hal itu, dan bersama
teman-temannya ia kembali bersatu untuk menggagalkan rencana Drago.
Tidak hanya itu, kali ini Hiccup juga mendapat bantuan dari seseorang
yang telah lama menghilang dari kehidupannya.
Jadi apakah penantian empat tahun dari film pertamanya memang sepadan?
Sutradara Dean DeBlois yang menjadi co-director pada film pertamanya
tahu benar apa saja yang menjadi kelebihan How to Train Your Dragon (2010) untuk kemudian kembali menampilkan segala kelebihan tersebut dalam sekuelnya. Saat dulu menonton How to Train Your Dragon
(2010), kita ingat betul bahwa adegan aksi di udaranya memang seru,
tapi satu hal yang paling memukau adalah bagaimana animasi yang begitu
bagus dalam menggambarkan berbagai jenis naga yang ada. Tidak hanya satu
atau dua, ada puluhan naga dengan bentuk serta warna yang total berbeda
satu sama lain. Tentu saja dalam sekuelnya jumlah naganya akan
bertambah, dimana yang paling mencuri perhatian adalah sosok naga alpha
yang berukuran raksasa. Jelas gelontoran bujet besar yang mencapai $145
juta tidaklah sia-sia disini.
Kelebihan berikutnya yang kembali berhasil dimaksimalkan dalam film
keduanya ini adalah aspek emosional yang dibungkus dalam atmosfer yang
cukup kelam. Tentu saja kita masih ingat bagaimana film pertama How to Train Your Dragon
(2010) begitu baik dalam menyatukan kisah persahabatan, coming-of-age
hingga hubungan ayah dan anak menjadi satu rangkaian kisah besar yang
cukup mengharukan. Belum lagi keberanian mengambil suasana yang dewasa
dan jauh lebih kelam daripada mayoritas film DreamWorks lainnya. Film
animasi mainstream mana yang berani memotong kaki karakter utamanya yang
masih remaja? Disini atmosfer kelamnya masih dipertahankan. Jika di
film pertamanya ada kaki yang terpotong, maka disini ada tangan yang
diamputasi. Banyak juga momen-momen emosional yang mengharukan termasuk
salah satu momen paling manis saat Stoick pertama berteu lagi dengan
sang istri.
Disaat iringan musik dramatis itu tiba-tiba berhenti dan berubah menjadi
sunyi, Stoick pun mengucapkan rangkaian kalimat yang terasa begitu
manis dan mengharukan. Tidak hanya itu, bahkan ada sebuah momen tragis
nan emosional yang bahkan Pixar pun mungkin tidak akan dengan mudah
melakukan itu. Yang membuat film ini spesial adalah, disaat banyak
hal-hal emosional serta kedewasaannya, masih banyak suntikan-suntikan
komedi yang efektif disini. Diluar dugaan karakter Ruffnut jadi
penyumbang tawa paling besar disini dengan kisah "cinta"-nya. Perpaduan
sisi emosional dan komedi yang berimbang itu menjadikan filmnya cukup
dinamis.
Tapi walaupun punya banyak emosi, jalan cerita HTTYD 2 masih kalah jika
dibandingkan dengan yang pertama. Tidak banyak pesan-pesan yang
dikonversi menjadi satu rangkaian cerita besar. Alurnya sangat biasa,
hanya saja pengemasan adegan-adegannya yang maksimal mampu menjadikan
film ini tidak terasa biasa-biasa saja. Tentu saja salah satu aspek yang
turut mendukung intensitas serta sisi emosi film ini adalah musiknya.
Sama seperti film pertamanya, John Powell masih bertanggung jawab atas
scoring sekuelnya ini. Musiknya sanggup membuat beberapa adegan yang
sebenarnya tidak begitu luar biasa menjadi semakin terasa kekuatannya.
Tapi sedikit di bawah film pertamanya, How to Train Your Dragon 2 jelas
masih merupakan tontonan yang bagus dan salah satu yang terbaik dari
DreamWorks. Ada banyak tawa. Kita harap seri ketiga yang rencananya akan
rilis tahun 2016 akan menjadi penutup (atau setidaknya penutup trilogi
pertama jka akan ada film keempatnya) yang memuaskan dan epic baik
secara skala, tingkat keseruan maupun sisi emosionalnya.
Sumber,