Review:
Film yang mencoba tampil variatif atau
berwarna dalam menghibur dan juga bercerita tentu saja merupakan sebuah
film yang menyenangkan, namun hal tersebut juga didampingi oleh sebuah
syarat yang penting, konsistensi dan fokus mumpuni yang tidak setengah
hati. Film ini mengalami hal tersebut, film terbaru dari salah satu ahli
dalam menulis film action, Luc Besson. Lucy, sci-fi potensial yang
jatuh perlahan.
Pria bernama Richard (Pilou Asbæk) menggunakan frekuensi pertemuan yang
ia lakukan dengan bossnya, Mr. Jang (Choi Min-sik), seorang drug lord,
sebagai alasan ketika meminta pertolongan pada Lucy (Scarlett
Johansson). Lucy sendiri merasa tidak yakin untuk melakukan permintaan
tersebut, selain ujian akademik yang telah menantinya ia juga menyimpan
rasa ragu pada pria yang baru berpacaran seminggu dengannya itu.
Rasa ragu itu ternyata tepat, karena sebuah koper yang Richard minta ia
antarkan kepada Mr. Jang itu membawa masalah yang sangat besar bagi
Lucy. Isi koper tersebut adalah CPH4, obat sintetik yang memiliki fungsi
dapat meningkatkan kemampuan manusia, dari time travel hingga telepati,
obat yang celakanya justru harus menjadi bagian dari isi perut Lucy.
Namun berawal dari sebuah tindakan ceroboh salah satu anak buah Mr. Jang
obat tersebut masuk kedalam sistem tubuh Lucy, melakukan invasi didalam
tubuh wanita itu secara bertahap meningkatkan kemampuan kinerja dan
kemampuan otak Lucy, hal yang semakin memperbesar masalah dan bahaya
yang harus ia hadapi.
Sebut saja Lucy sebagai proyek iseng atau keras kepala dari seorang Luc
Besson, sebuah upaya dimana sosok yang telah identik dengan kekacauan
gerak cepat seperti Taken, Taxi, dan The Transporter
ini ingin mencoba memadukan unsur ringan dan berat seperti yang pernah
ia lakukan di Léon dan The Fifth Element, sci-fi dan fantasy yang bukan
hanya berisikan tembak-menembak dengan ratusan butir peluru serta adu
cepat di jalan raya namun juga punya misi untuk menghantarkan sebuah
pesan bermakna layaknya sebuah art-house.
So, masalahnya muncul dari sikap keras kepala Luc Besson, ia ingin
tampil beda namun ia juga seperti kurang peduli dengan syarat-syarat
untuk mendukung misinya tadi agar dapat tampil mumpuni, memilih untuk
menggunakan formula hafalannya. Hasilnya adalah petualangan di selimuti
ambiguitas yang kurang menyenangkan. Yap, kurang menyenangkan, ia punya
momen yang mampu membuat penontonnya tersenyum bahagia namun juga
diselingi dengan momen kurang penting yang mengundang rasa jengkel luar
biasa.
Sedikit disayangkan memang karena jika menilik dari premis hingga
sinopsis yang menggunakan teori kuno terkait manusia yang hanya
menggunakan 10% dari kapasitas otak mereka itu Lucy punya potensi besar
untuk menjadi sebuah kekacauan yang menyenangkan, aksi boom-boom-boom
yang membawa penonton dalam petualangan dengan oktan yang lebih tinggi
dari apa yang pernah dilakukan oleh Limitless. Tapi perpaduan elemen dengan cita rasa Discovery Channel dan National Geographic merusak semuanya.
Nah, ini dia, Luc Besson seperti iseng disini, menarik ulur kita para
penonton dengan menggabungkan secara kasar berbagai scene dari tumbuhan
hingga binatang untuk membantu proses awal cerita terbangun. Menarik
memang, tapi hanya diawal, karena dampak dari sikap keras kepala tadi
pada akhirnya Luc Besson tampak bingung pada bagaimana cara ia untuk
mengembangkan pola awal itu agar terus berlanjut hingga akhir, perpaduan
antara adegan aksi andalannya bersama momen tenang dimana penonton
menikmati konsep ilmiah yang mencoba menggambarkan makna dari evolusi.
Hasilnya, stuck, memilih kembali menggunakan formula klasik, keputusan
yang meninggalkan banyak masalah. Yap, masalah, sumbernya terletak pada
cerita yang tidak kuat. Momen dimana ia seharusnya membentuk pondasi
cerita agar menjadi kuat di awal Luc Besson gunakan sembari tersenyum
untuk membuat anda penuh kebingungan bersama kombinasi aneh tadi, dan
ketika rasa bingung itu berbalik arah pada Luc Besson, anda yang akan
ganti tersenyum puas ketika melihat segala kekacauan yang mulai tampil
canggung itu.
Lucy seperti ambisi tanpa kompromi, kekacauan dimana Luc Besson seolah
ingin menggabungkan Terrence Malick dan Michel Gondry, ia ingin kita
merasakan masalah yang timbul dari konsep tadi namun tidak menyertakan
karakterisasi yang mumpuni, kemudian membuat kita terpukau dengan
permainan teknologi dari kemampuan yang dimiliki oleh karakter. Tidak
heran jika ada yang menilai Lucy sebagai film ambigu yang omong-kosong,
karena faktanya memang demikian, sci-fi yang mencoba sangat keras untuk
mengedepankan isi dari ceritanya sembari bersenang-senang namun harus
jatuh menjadi sajian sinematik yang hampir kosong.
Benar, hampir kosong, karena dibalik teka-teki yang tidak pernah
berhenti melemparkan filosofi itu hadir adegan aksi yang cukup menarik,
menyaksikan Scarlett Johansson yang mampu menjadikan kemampuan yang ia
miliki terasa menarik, meskipun cukup disayangkan pada akhirnya tidak
memberikan kesempatan bagi Choi Min-sik untuk berkontribusi lebih dalam
cerita.
Overall, Lucy adalah film yang cukup memuaskan. Seperti tampilan brain
capacity di layar yang secara periodik meningkat, beberapa penonton akan
mudah terhipnotis dan masuk kedalam penantian menuju babak akhir dari
petualangan yang canggung ini. Hal sebaliknya akan terjadi pada mereka
yang ingat bahwa film ini diawal mencoba untuk tampil kontemplatif,
namun akibat Luc Besson yang tidak mampu mengendalikan dan mencampur dua
tujuan yang ia bawa akhirnya hanya menjadi petualangan yang terasa
standard jika menilik potensi besar yang ia miliki sebelumnya. Semua
kembali pada standard dan ekspektasi dari para penontonnya, karena hasil
yang diberikan oleh Lucy terasa sangat ambigu, sama seperti hiburan
yang ia berikan.
Sumber,